Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI UNAAHA
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2025/PN Unh 1.Restu Alqadri Hidayat
2.Sahrir
3.Basmanto, S.Kom.
Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara c.q. Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Sultra Minutasi
Tanggal Pendaftaran Jumat, 28 Feb. 2025
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2025/PN Unh
Tanggal Surat Jumat, 28 Feb. 2025
Nomor Surat 41/HK/LGS/SK/PID/II/2025/PN Unh
Pemohon
NoNama
1Restu Alqadri Hidayat
2Sahrir
3Basmanto, S.Kom.
Termohon
NoNama
1Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara c.q. Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Sultra
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

Pemohon I, II, dan II Selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon-------------------------------------------------------

MELAWAN :

Kepala Kepolisian Republik Indonesia c.q. Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara c.q. Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Sultra yang beralamat di Jl. Haluoleo Nomor 1, Kelurahan Mokoau, Kecamatan Poasia, Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara. Selanjutnya disebut sebagai Termohon----------------

TERHADAP :

PENETAPAN SEBAGAI TERSANGKA DAN PENAHANAN dalam dugaan Tindak Pidana Merintangi jalan umum dan atau pemerasan dengan ancaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 192 ayat (1) KUHP dan atau Pasal 368 ayat (1) KUHPidana Jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP, Pasal 56 ayat (1) KUHPidana oleh Direktur Kriminal Umum POLDA SULTRA.

Adapun yang menjadi alasan permohonan Praperadilan Pemohon adalah sebagai berikut :

I. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN

  1. Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa  dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.

 

  1. Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan :

Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

  1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
  2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
  3. Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”
  1. Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:

Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

  1. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
  2. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.

  1. Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut :
  1. Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011;
  2. Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/PID/2011 tanggal 17 Januari 2012;
  3. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/Pid.Prap/2012/Pn.Jkt.Sel tanggal 27 november 2012;
  4. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015;
  5. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015
  6. Dan lain sebagainya.
  1. Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut :
  2.  

Menyatakan :

  • Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
  • [dst]
  • [dst]
  • Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
  • Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan.
  1. Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.

II. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN

  1. PEMOHON I TIDAK PERNAH DIPERIKSA SEBAGAI CALON TERSANGKA.
  1. Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
  2. Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti.
  3. “Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia)”.
  4. Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka  untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu.
  5. Bahwa sebagaimana diketahui Pemohon I tidak pernah dilakukan Pemeriksaan dalam kapasitas Pemohon I sebagai calon tersangka. Namun Termohon langsung mengeluarkan Surat Penangkapan dan Surat Penetapan tersangka terhadap diri Pemohon I yang ditetapkan dihari yang sama yaitu tertanggal 01 November 2024 dan Pemohon langsung dijemput dan ditahan di dalam ruangan RESMOB POLDA SULTRA, Proses Penjemputan dan Penangkapan di Perlihatkan ke Pemohon I yang dimana Berupa Surat Penangkapan dan Tersangka Pemohon I dengan Nomor SP.Kap/71/XI/RES.1.2/2024/Dit.Reskrimun tanggal 01 November 2024 sementara surat Penahanan dan Penetapan Tersangka yang dikeluarkan penyidik adalah tertanggal 02 November 2024;
  6. Untuk itu berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanyaTidak pernah dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon I. Dikarenakan Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon dalam hal ini Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Sultra;
  7. Bahwa gelar perkara tertanggal 02 November 2024 terkesan dipaksakan sebagai dasar menetapkan Pemohon sebagai tersangka sebab gelar perkara tersebut dilakukan, sebelumnya tidak pernah dilakukan pemanggilan atas diri Pemohon baik sebagai saksi maupun sebagai calon tersangka, bahkan ironinya Pemohon langsung ditangkap pada tanggal 01 November 2024 sekitar jam 17.30 di Desa Mandiodo, Kecamatan Molawe, Kabupaten Konawe Utara berdasarkan Surat Perintah Penangkapan Nomor : SP.Kap / 71 / XI / RES.1.24. / 2024 / Dit.Reskrimum.
  8. Bahwa pada saat Pemohon ditangkap, Pemohon kemudian dibawah oleh Termohon ke Polda Sultra dan langsung di periksa BAP (Berita Acara Pemeriksaan) awal tanpa didampingi oleh Penasehat Hukum;
  9. Bahwa pada hari itu juga Pemohon langsung di tahan oleh Termohon berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor : SP.Han / 52 / XI / RES / .1.24. / 2024 / Dit.Reskrimum. tertangga 02 November 2024;

Dengan demikian jelas tindakan Termohon dengan atau tanpa pemeriksaan calon tersangka merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus dibatalkan tentang penetapan tersangka terhadap diri Pemohon oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo.

  1. TIDAK PERNAH ADA PENYELIDIKAN ATAS DIRI PEMOHON I.
  1. Bahwa sebagaimana diakui baik oleh Pemohon maupun Termohon, bahwa penetapan tersangka atas diri Pemohon baru diketahui oleh Pemohon berdasarkan surat Penetapan Tersangka  Nomor : S.TAP/98/XI/2024/Dit.Reskrimum tertanggal 01 November 2024. Bahwa apabila mengacu kepada surat tersebut, tidak pernah ada surat perintah penyelidikan kepada Pemohon. Padahal sesuai Pasal 1 angka 1 dan 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Polisi memiliki tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan.
  2. Bahwa hal itu senada dengan peyelidikan dan penyidikan, menurut Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 101), menjelaskan bahwa dari pengertian dalam KUHAP, “penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi “penyidikan”. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.
  3. Lebih lanjut, Yahya Harahap menyatakan bahwa jadi sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Mungkin penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindak pengusutan” sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana.
  4. Yahya Harahap (Ibid, hal. 102) juga mengatakan bahwa jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan. Penyelidikan atas perkara orang lain tidak dapat langsung dipakai pada penyelidikan atas nama Pemohon.

Dengan demikian jelas berdasarkan uraian singkat diatas, kegiatan penyelidikan dan penyidikan merupakan dua hal yang tidak dapat berdiri sendiri dan dapat dipisahkan keduanya. Berkenaan dengan Pemohon dengan tidak pernah diterbitkannya surat perintah penyelidikan atas diri pemohon, maka dapat dikatakan penetapan tersangka dengan atau tanpat surat perintah penyelidikan dapat dikatakan tidak sah dan cacat hukum, untuk itu harus dibatalkan.

  1. PEMOHON I MAUPUN KELUARGA DAN KUASA HUKUM TIDAK PERNAH MENERIMA SURAT PEMBERITAHUAN DIMULAINYA PENYIDIKAN (SPDP) DARI TERMOHON

Bahwa selama proses penanganan perkara yang dijalani oleh Para Pememohon, sama sekali tidak pernah Termohon memberikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) baik kepada Para Pemohon, Keluarga ataupun kuasa hukumnya padahal itu merupakan kewajiban dari Termohon yang telah nyata melanggar hak-hak dari Para Pemohon;

 

  1. PROSES PENAHANAN PEMOHON I dan PEMOHON II YANG TIDAK SESUAI DENGAN PROSEDURAL
    1. Bahwa setelah Para Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka oleh Termohon, Maka Pemohon I dan Pemohon II langsung dilakukan Penahanan sebagaimana Surat Perintah Penahanan Tertanggal 02 November 2024 atasnama Restu Alqadri Hidayat Nomor : SP. Han/ 52 / XI / RES. 1.24 / 2024 / Dit Reskrimum dan Surat Perintah Penahanan Tertanggal 02 November 2024  atasnama Sahrir Nomor : SP. Han/ 51 / XI / RES. 1.24 / 2024 / Dit Reskrimum;
    2. Bahwa Pemohon I dan Pemohon II dilakukan Penahanan oleh Termohon sebagaimana Surat Perintah Penahanan Tersebut berlaku selama 20 Hari yakni dari tanggal 02 November 2024 sampai dengan tanggal 21 November 2024;
    3. Bahwa setelah selesai 20 (dua puluh) hari Penahanan terhadap Pemohon I dan Pemohon II Kemudian Termohon  melakukan Perpanjangan Penahanan oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara selama 40 (empat puluh) hari yakni terhitung mulai tanggal 22 November 2024 Sampai dengan tanggal 31 Desember 2024 sebagaimana Surat Perpanjangan Penahanan Tertanggal 21 November 2024;
    4. Bahwa Termohon kemudian melakukan perpanjangan oleh Penuntut Umum sejak tanggal 22 Desember 2024 sampai dengan tanggal 30 Januari 2025;
    5. Bahwa selanjutnya Termohon melakukan perpanjangan penahanan oleh Ketua Pengadilan Negeri Unaaha selama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal 01 Januari 2025 sampai dengan tanggal 30 Januari 2025, kemudian dilanjutkan lagi selama 30 (tiga puluh) hari dihitung sejak tanggal 31 januari 2025 sampai dengan tanggal 01 Maret 2025 sebagaimana Penetapan Pengadilan Negeri Unaaha Nomor : 20/PenPid.B-HAN/2025/PN Unh tertanggal 24 Januari 2025;
    6. Bahwa Pemohon III Dilakukan Penahanan berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor : SP.Han/08/I/RES.1.24/2025/Dit Reskrimun tertanggal 17 Januari 2025

Bahwa berdasarkan uraian proses penahanan dan perpanjangan penahanan yang dilakukan Termohon terhadap diri Para Pemohon sangat jelas kekacauan prosedur dan perhitungan dan kesinambungan perpanjangan penahanannya sehingga menimbulkan kerugian immateri.

Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka Para Pemohon mohon dengan hormat kepada Ketua Pengadilan Negeri Kendari cq. Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi sebagai berikut :

Primair :

  1. Mengabulkan permohonan Praperadilan Para Pemohon untuk seluruhnya;
  2. Menyatakan perbuatan Termohon adalah perbuatan melanggar hukum;
  3. Menyatakan tindakan pengkapan dan penahanan yang masing-masing Surat Perintah Penahanan nomor : SP. Kap / 71 / XI / RES.1.24. / 2024 / Dit.Reskrimum tanggal 01 November 2024 dan Nomor: SP.Han/ 52 / XI / RES.1.24. / 2024 / Dit.Reskrimum tanggal 01 November 2024 dan Nomor : SP. Han/ 08 / I / RES. 1.24 / 2025 / Dit Reskrimum tertanggal 17 Januari 2025 yang dikeluarkan oleh Termohon adalah tidak sah ;
  4. Menyatakan tindakan Termohon menetapkan Para Pemohon sebagai Tersangka dalam Pasal 192 ayat (1) KUHP dan atau Pasal 368 ayat (1) KUHPidana Jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP, Pasal 56 ayat (1) KUHPidana adalah tidak sah dan tidak berdasarkan hukum dan oleh karenanya penetapan Tersangka A quo tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;
  5. Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Para Pemohon;
  6. Memerintahkan segera kepada Termohon agar Para Pemohon dikeluarkan dari Rumah Tahanan Polda Sulawesi Tenggara;
  7. Memulihkan hak Para Pemohon dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya;
  8. Membebankan biaya perkara sesuai ketentuan yang berlaku;

 

Subsidair :

Jika Hakim berpendapat lain mohon putusan yang adil dan patut menurut hukum. -

Terima Kasih.

Pihak Dipublikasikan Ya